Mengenal Suku Massenrempulu di Kabupaten Enrekang

Rabu, 28 Juni 2017



Di Kabupaten Enrekang,  Sulawesi Selatan, bermukim tiga suku: Enrekang, Duri, dan Maiwa. Ke-3  suku itu membentuk kesatuan yang disebut suku Massenrempulu.  Massenrempulu, secara bahasa Enrekang, berarti melekat seperti beras  ketan. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kesatuan dari ke-3 suku  tersebut. Dalam bahasa Bugis, Massenrempulu disebut Massinringbulu, yang  berarti jajaran gunung-gunung. Suku Massenrempulu memang tinggal di  daerah yang terdiri dari jajaran gunung-gunung. Gunung yang paling  terkenal dan sering dikunjungi para pendaki adalah gunung Latimojong.
Di daerah pegunungan banyak berdiri desa-desa suku Duri; suku Maiwa  banyak bermukim di desa-desa yang berbatasan dengan Kabupaten Sidrap,  dan suku Enrekang banyak bermukim di kota Enrekang. Selain berbeda  wilayah mayoritas, bahasa suku Enrekang, Duri, dan Maiwa juga berbeda  dialeknya, namun tetap akan bertemu dalam pengertian dan pengartian yang  sama.

Banyak yang mengatakan, suku Massenrempulu merupakan kombinasi antara  dua suku: Bugis dan Toraja. Namun, untuk membuktikan hal tersebut,  dibutuhkan penelitian lebih mendalam. Yang jelas, suku Massenrempulu  tidak memiliki adat yang macam-macam: kematian, pernikahan, pakaian, dan  lainnya. Sangat berbeda dengan suku Bugis dan Toraja.

Dalam pernikahan, misalnya, suku Massenrempulu tidak punya upacara  seperti mappacci, korontigi, lekka, dan lainnya. Keluarga perempuan juga  sangat malu jika anak gadisnya dilamar dengan materi yang sangat mahal.  Sangat berbeda dengan suku Bugis, bukan?

Jaman dulu, suku Massenrempulu punya agama animisme bernama Alu’ Tojolo.  Namun, seiring dengan masuknya agama Islam, Alu’ Tojolo pun perlahan  ditinggalkan. Terhitung hanya desa di wilayah Baraka yang penduduknya  ada yang menganut Alu’ Tojolo. Mereka biasanya rutin melakukan pertemuan  1-2 kali sebulan dan mereka biasa melakukan ritualnya di gunung  Latimojong.

Dulu, suku Massenrempulu juga memiliki stratifikasi sosial, yaitu  bangsawan, menengah, dan rakyat jelata. Stratifikasi sosial tersebut  kemudian dihapus oleh Kahar Mudzakkar ketika dia dan pasukannya menguasai Enrekang. Menurut Kahar, gelar Puang hanya milik Tuhan,  manusia tidak pantas memilikinya. 

Penghapusan tersebutlah yang membuat Andi Sose, teman Kahar Mudzakkar,  meninggalkan Enrekang. Andi Sose merupakan satu-satunya orang dari suku  Massenrempulu yang memakai gelar kebangsawanannya Andi dan dipanggil  Puang. Andi Sose adalah pengusaha pemilik Yayasan Andi Sose dengan unit  usaha seperti Universitas 45, Gedung Juang 45, dan lainnya.

Memang masih ada sebagian bangsawan di suku Massenrempulu dan mereka  biasa dipanggil puang, namun mereka tidak pernah melekatkan gelar Andi  pada nama mereka.

Saat ini, suku Massenrempulu menganut paham hidup sederhana. Mereka  hidup dari bertani, berdagang, dan pegawai, sebagian lagi merantau ke  Makassar, Toraja, Kendari, bahkan sampai ke kota-kota di Kalimantan  hingga luar negeri.

Sumber : http://www.kompasiana.com/taufikhasyim/mengenal-suku-massenrempulu-di-kabupaten-enrekang_552b8e306ea83426158b4570

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post