Dahulu
kala di daerah Sulawesi Selatan hiduplah seorang raja makmur yang
memiliki dua orang putra, putra pertama bernama Lajana dan putra kedua
bernama Sangkala. Dua kakak beradik tersebut sangatlah bertolak belakang
dalam perilakunya sehari-hari.
Lajana
yang pemalas kesehariannya hanyalah makan dan tidur tanpa pernah
melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berbeda dengan kakaknya, Sangkala
sangat rajin dan patuh terhadap orang tuanya. Setiap hari Sangkala
selalu bekerja keras walau pun ia adalah anak seorang raja. Tidak sesuai
dengan kenyataan, nasib Lajana lebih baik dari Sangkala. Lajana lebih
disayang oleh ayahnya, seperti itulah yang terjadi.
Sangkala
memiliki dua ekor hewan peliharaan yang sangat ia sayangi. Sudah
sewajarnya bila Sangkala sangat sayang terhadap peliharaannya itu, sebab
kedua hewan itu adalah pemberian dari ayahnya yang berupa seekor ayam
jantan dan seekor anjing. Suatu hari Sangkala diperintahkan oleh ayahnya
untuk menggembalakan hewan-hewan ternak ayahnya namun naas tak dapat
dihindari, seluruh hewan ternak tersebut hilang bak ditelan bumi. Akibat
kelalaiannya itu, dihukumlah Sangkala oleh ayahnya. Ia tidak boleh
makan minum dan tidur di rumah akibat kelalaiannya.
Berat
hukuman yang diterima Sangkala, namun ia masih bisa sedikit terhibur
karena ia masih ditemani peliharaan kesayangannya selama hidup di luar
sana. Beberapa hari tidak makan tak membuat Sangkala bersedih ia tetap
ceria dan bersemangat, hal inilah yang membuat raja dan Lajana heran
bukan kepalang. Sewaktu-waktu raja dan Lajana secara diam-diam
memerhatikan kehidupan Sangkala di luar sana. Ternyata ayam kepunyaan
Sangkala bukanlah ayam jantan sembarangan, apa pun yang diminta oleh
Sangkala pasti terwujud lewat ayam jantannya yang bernama Ceppaga itu.
Suatu
hari hujan deras disertai angin kencang menerpa Sangkala, saat itu juga
Sangkala menitahkan Ceppaga untuk menyelamatkan dirinya dari terpaan
angina dan hujan. Alhasil angina justru bertiup semakin kencang dan
hujan semakin deras, sehingga Sangkala dan anjingnya si Bolong tidak
sadarkan diri. Beberapa saat kemudian Sangkala dan Bolong mendengar
sayup-sayup gemuruh angina disertai kokokan ayam dan bisikan yang
menyuruh Sangkala untuk segera bangun. “Hai Sangkala kamu adalah anak
yang baik maka sudah sepantasnya kamu mendapatkan apa pun yang kamu mau
dan segeralah buka kedua matamu”, Seperti itulah suara yang didengar
oleh Sangkala. Begitu ia membuka matanya, ia merasa sangat takjub karena
di depan matanya telah berdiri istana megah lengkap dengan segala
isinya. Mendengar kabar bahwa Sangkala telah berubah kehidupannya
seperti seorang raja, ayahnya dan Lajana segera mengatur rencana untuk
merampas apa yang telah dimiliki Sangkala.
Tibalah
saat rencana dilaksanakan. Lajana menemui dan mengajak adiknya pergi ke
dalam hutan untuk mencari pohon besar yang akan dibuat peti mati untuk
ayah mereka karena ayah mereka sudah terlalu tua dan mungkin sebentar
lagi akan meninggal. Dalam perjalanannya Sangkala dan Lajana disertai
oleh Ceppaga dan Bolong, setelah berjalan selama beberapa hari di dalam
hutan akhirnya mereka menemukan pohon besar yang dapat dijadikan peti
mati. Tak berselang lama akhirnya rampunglah peti mati yang mereka buat,
namun disinilah akal licik Lajan dimulai. Ia meminta adiknya untuk
mencoba ukuran peti mati tersebut, tanpa rasa curiga Sangkala pun
memasuki peti tersebut dan seketika itu juga penutup peti mati langsung
dirapatkan dan dipaku sehingga Sangkala tak dapat keluar dari peti
tersebut. Beberapa lama kemidian tewaslah Sangkala di dalam peti
tersebut. Tanpa pikir panjang lagi Lajana langsung menghanyutkan peti
mati itu ke sungai bersama dengan Ceppaga dan Bolong di atasnya, setelah
melakukan semua rencana jahatnya ia pun bergegas lari kembali ke dalam
hutan. Namun tak lama setelah itu Lajana pun meninggal di tengah hutan
karena tak makan dan minum sedikit pun.
Berbulan-bulan lamanya peti itu hanyut di sungai hingga pada akhirnya peti itu tersangkut di akar pepohonan sungai.dan
terdiam. Ceppaga dan Bolong pun membuka peti mati yang berisi mayat
tuannya itu, ketika telah terbuka ternyata mayat Sangkala telah hancur
dan menyisakan tiga belatung. Dua belatung dimakan oleh Ceppaga dan
Bolong, dan secara ajaib belatung yang satunya lagi seketika berubah
menjadi laron. Ternyata laron itu adalah jelmaan dari arwah Sangkala,
kemudian laron yang merupakan jelmaan Sangkala itu memberikan sebuah
nasehat kepada Ceppaga dan Bolong sekaligus memberikan ucapan terima
kasih atas kebaikan Ceppaga dan Bolong selama ia masih hidup.
Akhirnya
setelah memberi ucapan perpisahan, laron tersebut terbang dari peti
mati untuk naik menuju ke daratan. Sampai sekarang daratan tempat laron
itu singgah diberi nama Enrekang, yang dalam Bahasa Bugis Duri artinya
adalah tempat naik. Begitulah asal mula dari nama sebuah kabupaten di
daerah Sulawesi Selatan, Enrekang.
sumber : anonim
0 komentar:
Posting Komentar