Cado’dong
Konon
dahulu kala ada seorang pria tampan dan perkasa yang bernama Cado’dong, ia
hidup dengan Ibu dan enam orang kakaknya. Mereka tinggal di tanah Duri di
kampong Ulu Wai (Parombean, Daerah Curio).
Ia
seorang pemuda yang giat dan ulet dalam bekerja sehingga ia mempunyai kebun,
sawah, dan ternak yang sangat banyak. Dengan usahanya yang berhasil itu,
membuat saudaranya iri hati.
Suatu
hari kampungnya didatangi oleh seorang pria yang berasal dari kampung seberang.
Iya jugabekerja seperti Cado’dong. Kian hari usaha Cado’dong semakin sukses.
Keadaan tersebut membuat pria pendatang ini takut usahanya akan disaingi. Oleh
sebab itu, ia mempengaruhi keenam saudara Cado’dong agar membunuh Cado’dong.
Akhirnya,
pria pendatang dan saudara Cado’dong menyusun strategi. Mereka membuat duni
(peti orang mati yang mirip perahu londe). Setelah peti itu usai, Cado’dong
diminta merebahkan badannya pada peti tersebut. Saudara-saudara Cado’dong
ternyata berniat jahat dan bermaksud untuk membunuh saudara kandungnya sendiri.
Saat
seluruh badan Cado’dong rapat pada duni dengan cepat mereka menutup duni itu
lalu melemparkannya ke sungai (konon, dilempar ke sungai Mata Allo). Akan
tetapi, hewan peliharaannya, anjing dan ayam, ikut menemani dan selalu berusaha
membantu Cado’dong agar dapat keluar dari peti itu. Si anjing menggaruk-garuk
peti dengan kuku tajamnya. Demikian halnya dengan Si ayam, ia mencakar-cakar
peti dengan kukunya sampai Cado’dong keluar dari duni. Saat itu Cado’dong
terdampar di Tina’bang, Sampe siruk (Daerah Anggeraja).
Setelah
berhasil lolos dari maut, ia berjalan kaki menyusuri gunung ke gunung, lembah
ke lembah. Pada saat memasuki daerah Tontonan ia membuat tongkat yang berasal
dari pohon jaramele (belimbing ceremai). Lalu, ia melanjutkan perjalanannya dan
tiba di wilayah Malua tepatnya Gunung Pangden (gunung di daerah Bassaran,
Kecamatan Malua).
Di
tempat itulah ia menetap dan bermaksud untuk bercocok tanam demi melangsungkan
hidupnya. Namun, Cado’dong binging dengan kondisi tanah yang kering sarta sumber
air yang sulit. Tanpa sengaja, ia menghentakkan tongkatnya yang berasal dari
batang belimbing itu ke tanah dan muncullah sumber air. Tidak lama, tanah itu
ditumbuhi jambu air (penduduk Bassaran sebut Pela’ Dewata) dan mangga macan
(Pao Dadeko).
Dengan
semangat dan kerja kerasnya dalam bercocok tanam, ia menjadi kaya raya. Namun,
kekayaannya itu tidak membuat Cado’dong sombong. Ia sering kali membagi-bagikan
hasil kebun, sawah dan ternaknya pada masyarakat. Tidak hanya itu saja,
peralatan dapur seperti baku’ (Bakul), ko’ko (Tampi), lau bolong (piring yang
terbuat dari kayu hitam) juga diberikan kepada orang yang membutuhkan.
Berita
kedermawanan Cado’dong mulai tersiar. Pada suatu hari banyak orang
berbondong-bondong untuk meminta bantuan kepada Cado’dong, termasuk keenam
saudaranya. Pada saat itu pulalah, mereka mengetahui bahwa orang kaya raya itu
adalah Cado’dong, saudaranya yang telah ia buang. Selanjutnya, mereka meminta
maaf dan menyesali perbuatannya. Cado’dong pun ikhlas menerima dan memaafkan
mereka.
Akhirnya,
Cado’dong hidup bahagia dengan ibunya beserta para saudaranya. Usaha Cado’dong
pun kian sukses dengan bantuan para saudaranya.
(Diriwayatkan oleh Sandiwang dan Baco Sedu)
Sumber : Anonim
0 komentar:
Posting Komentar