Cerita Rakyat Enrekang Duri

Jumat, 30 Juni 2017

Cado’dong 
Konon dahulu kala ada seorang pria tampan dan perkasa yang bernama Cado’dong, ia hidup dengan Ibu dan enam orang kakaknya. Mereka tinggal di tanah Duri di kampong Ulu Wai (Parombean, Daerah Curio).
Ia seorang pemuda yang giat dan ulet dalam bekerja sehingga ia mempunyai kebun, sawah, dan ternak yang sangat banyak. Dengan usahanya yang berhasil itu, membuat saudaranya iri hati.
Suatu hari kampungnya didatangi oleh seorang pria yang berasal dari kampung seberang. Iya jugabekerja seperti Cado’dong. Kian hari usaha Cado’dong semakin sukses. Keadaan tersebut membuat pria pendatang ini takut usahanya akan disaingi. Oleh sebab itu, ia mempengaruhi keenam saudara Cado’dong agar membunuh Cado’dong.
Akhirnya, pria pendatang dan saudara Cado’dong menyusun strategi. Mereka membuat duni (peti orang mati yang mirip perahu londe). Setelah peti itu usai, Cado’dong diminta merebahkan badannya pada peti tersebut. Saudara-saudara Cado’dong ternyata berniat jahat dan bermaksud untuk membunuh saudara kandungnya sendiri.
Saat seluruh badan Cado’dong rapat pada duni dengan cepat mereka menutup duni itu lalu melemparkannya ke sungai (konon, dilempar ke sungai Mata Allo). Akan tetapi, hewan peliharaannya, anjing dan ayam, ikut menemani dan selalu berusaha membantu Cado’dong agar dapat keluar dari peti itu. Si anjing menggaruk-garuk peti dengan kuku tajamnya. Demikian halnya dengan Si ayam, ia mencakar-cakar peti dengan kukunya sampai Cado’dong keluar dari duni. Saat itu Cado’dong terdampar di Tina’bang, Sampe siruk (Daerah Anggeraja).
Setelah berhasil lolos dari maut, ia berjalan kaki menyusuri gunung ke gunung, lembah ke lembah. Pada saat memasuki daerah Tontonan ia membuat tongkat yang berasal dari pohon jaramele (belimbing ceremai). Lalu, ia melanjutkan perjalanannya dan tiba di wilayah Malua tepatnya Gunung Pangden (gunung di daerah Bassaran, Kecamatan Malua).
Di tempat itulah ia menetap dan bermaksud untuk bercocok tanam demi melangsungkan hidupnya. Namun, Cado’dong binging dengan kondisi tanah yang kering sarta sumber air yang sulit. Tanpa sengaja, ia menghentakkan tongkatnya yang berasal dari batang belimbing itu ke tanah dan muncullah sumber air. Tidak lama, tanah itu ditumbuhi jambu air (penduduk Bassaran sebut Pela’ Dewata) dan mangga macan (Pao Dadeko).
Dengan semangat dan kerja kerasnya dalam bercocok tanam, ia menjadi kaya raya. Namun, kekayaannya itu tidak membuat Cado’dong sombong. Ia sering kali membagi-bagikan hasil kebun, sawah dan ternaknya pada masyarakat. Tidak hanya itu saja, peralatan dapur seperti baku’ (Bakul), ko’ko (Tampi), lau bolong (piring yang terbuat dari kayu hitam) juga diberikan kepada orang yang membutuhkan.
Berita kedermawanan Cado’dong mulai tersiar. Pada suatu hari banyak orang berbondong-bondong untuk meminta bantuan kepada Cado’dong, termasuk keenam saudaranya. Pada saat itu pulalah, mereka mengetahui bahwa orang kaya raya itu adalah Cado’dong, saudaranya yang telah ia buang. Selanjutnya, mereka meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Cado’dong pun ikhlas menerima dan memaafkan mereka.
Akhirnya, Cado’dong hidup bahagia dengan ibunya beserta para saudaranya. Usaha Cado’dong pun kian sukses dengan bantuan para saudaranya.

(Diriwayatkan oleh Sandiwang dan Baco Sedu)
Sumber : Anonim

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post